Sihir Pop Culture Kita

pop-culture-kcl

Jika tipu muslihat liberalime politik dan ekonomi Amerika mudah dicium aromanya, maka liberalisme moral begitu membius sehingga lebih sukar ditelusuri jejaknya. Dunia menyaksikan betapa kentaranya liberalisme politik AS yang memaksakan pemilu ala demokrasi liberalnya itu di berbagai negara. Melalui kedok organisasi non politik berupa LSM, dihembuskanlah hasutan untuk menggalang dukungan bagi partai yang pro-AS. Begitu pula dengan jurus liberalisme ekonominya. Perlahan tapi pasti kapitalisme mulai membocorkan sendiri berbagai trik tipuannya. Sebuah neo-imperialisme yang dilengkapi dengan ancaman: Anda di pihak mana? Sejalan berarti kawan, tak sejalan jadi lawan.

Liberalisme moral bermain lebih cantik dan halus. Segenap penjuru dunia –terutama negara-negara dunia ketiga– tersihir dengan pesona yang ditawarkan, seraya tak menyadari bahwa satu persatu organ tubuhnya sedang digerogoti dari dalam secara perlahan-lahan.

Gegap gempita American Idol terasa imbasnya di berbagai negara. Siapa yang tak suka dengan duplikasinya, Indonesian Idol di sini? Belum lagi sejumlah program acara “derivasinya” yang juga tak mau ketinggalan. Sempat juga ajang “idol-idolan” ini menyentuh ranah agama yang idealnya terbebas dari unsur bisnis (saya tidak tahu apakah sekarang masih ada). Anak kecil diajarkan menceramahi orang tua. Nanti giliran orang tua yang menasehati, si anak jadi tak bisa mendengar apapun lagi selain suaranya sendiri, lantaran kebanyakan bicara.

Banyak orang kritis langsung menunjuk hidung Amerika sebagai biang keroknya. Katanya, dibalik perputaran bisnis menggiurkan itu, tersembunyi misi untuk melenakan kita agar tak tahu apa dan bagaimana yang dimaksud dengan idola yang sesungguhnya. Tujuannya? Apalagi kalau bukan untuk pembodohan, agar selanjutnya kita mudah dikadali, dirampok hartanya, diperkosa harga dirinya.

Sebetulnya saya belum mau menuding siapapun dulu. Tapi kalau saya tanya orang-orang (terutama anak muda), secara menakjubkan mereka bisa menyebutkan satu persatu peserta ajang “idol-idolan” itu. Tapi ketika ditanya tentang Nabinya sendiri, malah cengengesan. Padahal pertanyaan belum masuk kepada wilayah pembahasan model kepemimpinan idealnya yang memang wajib diteladani. Pertanyaan baru berkisar pada tanggal berapa dan di mana Nabi kita lahir dan wafat.

Arus informasi begitu telanjang. Siapa tak kenal aktor dan aktris Hollywood? Kalau sekadar Brad Pitt atau Tom Cruise, Charlize Theron yang caem, Angelina Jolie yang menggoda, Jessica Alba yang seksi, sampai Jennifer Lopez yang bohai, Gan Oded yang dari desa saja tahu. Apalagi anak-anak muda kota, pasti lebih tahu sampai jeroannya. Lalu untuk melihat duplikat lokalnya, jangan lewatkan sinetron-sinetron di TV atau film layar lebar lokal yang umbar aurat berikut slogan-slogan ngeres menggelitik. Resumenya, simak di infotainment.

Sekali-kali adakan kuisioner di sekolah-sekolah atau universitas. Hitung berapa gelintir pelajar atau mahasiswa yang belum pernah nonton bokep. Jangankan film porno produk luar, produk lokal yang dibintangi anggota dewan yang terhormat saja masih bisa ditonton. Bukan saja di kota, bahkan sudah merasuki masyarakat desa yang sudah sedemikian cepat menemukan cara pragmatis supaya “mengkota”.

Setelah kita ekstase dengan semua itu, maka tanyakan seperti apakah pemimpin yang layak dipilih untuk pemilu 2009 mendatang.

***

Jika kepala kita terlalu banyak dijejali dengan yang ngepop-ngepop, kita jadi tak tertarik lagi dengan urusan lain yang bikin mumet kepala. Apalagi urusan politik dengan stigmanya yang sudah melarut pekat itu. Akibatnya, masyarakat semakin ogah mencari tahu ihwal kepemimpinan teladan.

Dalam setiap sejarah peradaban selalu saja ada orang-orang pintar (atau yang pura-pura pintar). Termasuk mereka yang pintar memanfaatkan peluang. Maraknya fenomena selebritis yang maju sebagai caleg merupakan strategi jitu untuk menjaring suara dari mayoritas masyarakat yang memang pengetahuannya nomor wahid dalam urusan hiburan. Kemudian ada juga orang pintar lainnya yang tak mau ketinggalan ikutan ngepop. Baju Islami pun mulai dipadukan dengan busana pop. Semuanya sah-sah saja. Namun jangan lupakan satu hal, ada sebuah formula baku dalam pop culture: semakin ngepop dan komersil, semakin rendah mutunya. Maka inilah mutu wajah kita dengan aneka permaknya di sana-sini.

Tidak ada yang ideal dalam masyarakat manusia. Yang salah terkadang jadi benar, yang benar bisa berubah salah. Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah, inikah sihir pop culture produk liberalisme moral yang memang sudah dirumuskan grand design-nya oleh sang arsitektur Amerika? Sebagaimana yang dituduhkan oleh banyak orang itu? Atau sekadar eskapisme budaya akibat ketidaksanggupan membangun wajah peradaban sendiri? Saya tidak tahu persis. Sebelum menuding saya mau berkaca dulu, siapa tahu saya memang ganteng betulan.

Sambil berkaca saya menyimpan sebuah keyakinan. Ibarat membangun sebuah rumah, awalnya kita dihadapkan pada aneka pilihan model arsitektur, mulai dari yang liberal-modern ala Amerika sampai yang rigid-formalistik ala Taliban di Afghanistan. Kemudian sesuai selera kita mulai memilah dan memilih bahan-bahannya, membangun pondasi, menyusun satu-persatu detil ruangannya, sampai terbentuklah bangunan besar yang menaungi kita semua. Sebuah bangunan budaya mutakhir kita: pop culture dengan segala watak materialisme, hedonisme, konsumtivisme, sampai “cabulisme”-nya. Terbentuk akibat kekalahan mental dalam pertarungan budaya antar peradaban.

Terakhir, mari kita tanya sekali lagi. Masih adakah pemimpin nasional yang layak dipilih dalam pemilu 2009 mendatang? Saya yakin masih ada, tetapi saya tidak yakin kita mau ambil pusing dengan semua itu. []

2 thoughts on “Sihir Pop Culture Kita”

Leave a comment