Ihwal Pakaian, Pemilu dan Secangkir Kopi

Dalam Matsnawi, Rumi berkisah tentang burung beo yang dicukur gundul oleh majikannya gara-gara gagal menjalankan tugas menjaga kedai sang bos yang akan pergi sebentar untuk shalat. Karena merasa bebas bermain-main, tanpa sengaja ia menumpahkan sebotol minyak goreng hingga pecah. Sebagai hukumannya, kepala burung itu dicukur habis hingga gundul. Setelah beberapa hari murung, tiba-tiba ia melihat seorang darwis berkepala botak melintas di depan kedai. Si beo girang bukan main karena melihat ada orang yang dipikirnya senasib dengannya.

“Hei kawan….kau menumpahkan minyak juga ya sepertiku?” Teriaknya.

****

Saya hentikan dulu cerita Rumi sejenak. Sebab sore itu, di TV, Ryan si jagal dari Jombang lebih menarik perhatian. Dengan senyumannya yang khas, tampak ia mengenakan baju koko berwarna putih bersih, lengkap dengan peci putih pula. Persis seperti foto saya di facebook. Sama persis!

Tapi bukan karena alasan itu lantas saya mengganti profile picture saya. Sebab tanpa perlu dijelaskan pun, orang yang kenal saya akan percaya, bahwasanya sesuatu yang di balik baju putih Ryan berbeda dengan sesuatu yang di balik baju putih saya. Tapi saya pun tak berani jamin kalau senyuman saya di foto itu lebih tulus dari senyumnya Ryan. Bisa saja saya mengatur-atur senyuman sedemikian rupa agar nampak bagus ketika difoto. Juga siapa pula yang tahu bahwa foto itu memang sengaja saya persiapkan untuk nampang di facebook.

Memang, pakaian atau tampilan luar seringkali menipu. Kalau saya mendandani seorang garong dengan baju koko yang sama persis dengan yang saya kenakan, lalu saya minta ia pimpin doa di depan Anda dengan cukup membaca sepotong doa pendek, Anda pasti tidak keberatan memanggilnya Ustadz atau Kyai. Pun demikian ketika saya mendandani seorang wts dengan kerudung rapi sehingga nampak Islami, siapa pula yang akan mengira ia seorang pelacur?

Beda kalau misalnya saya dandani si garong tadi dengan seragam lengkap ala Bung Karno lalu saya suruh ia jalan-jalan di Mall. Saya jamin tidak ada satupun yang menganggapnya negarawan ulung seperti Soekarno.

Segala sesuatu yang beratribut Islami sepertinya masih cukup menjanjikan. Masih punya nilai jual. Apalagi jika pandai meraciknya sehingga tampak ngepop. Nampaknya atribut masih dirasa lebih penting ketimbang substansi.

Menyandang atribut Islam selengkap-lengkapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki bukannya tidak boleh, silakan saja. Apalagi jika itu diyakini sebagai sesuatu yang “nyunnah”, bagus malah. Tapi apa jadinya kalau belum apa-apa seorang tokoh partai berani meluncurkan statement bahwa tari Jaipongan adalah erotis dan berasal dari tempat negatif. Sepertinya jargon ‘jujur dan bersih’ itu mesti diuji lagi, sebab hanya otak-otak ngereslah yang mengatakan jaipongan itu sebagai tarian erotis. Alhamdulillah, otak saya tidak ngeres ketika melihat Jaipongan. Bagi saya, jaipongan tak lebih dari gerakan serempak sekumpulan atom yang berpindah dari satu titik ke titik lain, yang diwujudkan melalui harmonisasi gerakan sebagai manifestasi karya estetis.

Begitu pun orang-orang berjiwa seni akan memfokuskan perhatiannya pada gerakan indah, bukan pada lekukan tubuh sang penari. Berbeda dengan mereka yang mengukur sesuatu berdasarkan gairah syahwat. Dan kalau sudah omong syahwat, jangankan wanita berpakaian seksi, wanita berjilbab seribu lapis pun mampu ditembus oleh mata-mata yang otaknya ngeres, hingga tersingkaplah lekukan tubuh dalam bayangan.

Entah serius atau berkelakar, sohib saya yang bernama Gan Oded bilang: “Satu hal yang masih mengganjal di benakku: kalau sekiranya warna Islam model-model begitu yang akan ditampilkan, aku khawatir kopi akan jadi barang haram.”

“Lho, kok kopi?”

“Ya, sebab secangkir kopi panas tak pernah menipu sebagaimana pakaian. Kamu yang maniak kopi bisa membedakan aroma kepulan asap yang keluar dari secangkir kopi medan, kopi lampung, kopi bali, arabica, robusta, kopi ginseng, kopi jahe hingga kopi penambah keperkasaan pria. Hidung dan lidahmu ahlinya di bidang ini. Nah, aroma sedap itu tak pernah sekalipun mengelabuimu. Tidak pernah misalnya, sejarah mencatat bahwa secangkir kopi hitam ritual pagimu itu tiba-tiba beraroma kopi starbucks.”

“Kamu bercanda atau phobia sih? Kok tiba-tiba lari ke kopi? Tidak korupsi saja sudah cukup, titik.” Timpal saya.

“Ah lupakan saja….Hanya sedikit teringat tulisan Prof. Hamid Algar ihwal gerakan ultra puritan wahabisme yang di awal-awal berdirinya pernah mencoba mengharamkan kopi, selain rokok. Meski sekarang ini variannya tampil dalam format yang beraneka ragam, mulai dari yang extra garang hingga yang nampak santun dan anggun, namun tetap isi kepalanya tak jauh beda. Kalau hanya sifatnya yang intoleran terhadap perbedaan, bisa ku atasi. Juga kalau hanya karena corak keberagamaannya yang sinis sehingga gampang meluncurkan umpatan bid’ah atau syirik, itu juga bisa ku abaikan. Tapi sekali lagi, ini tentang kopi mang, kopiii….” Ia mulai mengoceh sambil menyeruput kopi panasnya dan mengisap rokok kreteknya dalam-dalam.

“Sebetulnya bukan cuma kopi saja sih….ada satu lagi: cd alias celana dalam! Kenalanku seorang wahabi tidak mengenakan cd hanya karena takut menyerupai wanita. Karena menurut kelompoknya segala sesuatu yang menyerupai wanita dianggap haram. Katanya yang boleh pakai cd cuma perempuan!” Ia menambahkan.

“Bwahaha….gelo siah!” Air kopi dalam mulutku muncrat hampir mengenai wajahnya.

“Lupakan celana dalam, lagi pula aku belum membuktikan keabsahan berita itu. Aku belum sempat memelorotkan celana kenalanku itu untuk membuktikan bahwa ia benar-benar tidak pakai kolor. Yang jelas, aku bisa sakau kalau tidak ngopi sehari saja,” ocehnya lagi sambil nyengir.

“Jangan sembarang ngomong ah, nanti kalau sampai ke kuping Mas Mui bisa celaka kamu…..bisa-bisa kopi jadi haram karena bikin sakau. Juga tak usah kau singgung-singgung lagi hal itu, tidak ada gunanya berceloteh di sini. Toh tak ada bedanya antara putih, merah, kuning, biru, hijau, hitam, abu-abu hingga belang-belang. Semuanya sedang berlomba menarik simpati beo-beo gundul yang selalu mengira bahwa setiap kepala botak adalah hasil ganjaran yang diterima akibat menumpahkan sebotol minyak. Di awal tadi Rumi sudah menyindir orang-orang yang suka latah, gampang meniru tanpa tahu inti persoalan. Termasuk juga bagi yang gampang tertipu oleh atribut dan pakaian, termasuk atribut partai.”

Di tengah maraknya garong-garong perampas uang negara dan penghisap darah rakyat, ‘bersih dan jujur’ adalah jargon yang paling memikat saat ini. Namun ‘bersih dan jujur’ saja belumlah cukup jadi modal untuk mengelola sebuah bangsa besar yang terlanjur semrawut di segala lini ini. Perlu diuji lagi lebih lanjut. Juga perlu kecerdasan lebih dari sekadar bersih dan jujur. Intelektual, emosional, terlebih spiritual. Cerdas spiritual berarti juga harus mampu menempatkan diri di tengah keniscayaan perbedaan dan keragaman yang tak bisa dihindarkan. Juga mampu menghargai seni dan tradisi secara proporsional.

Baju koko plus peci sama sekali bukan jaminan kecerdasan spiritual. Baju takwa tidak mencerminkan ketakwaan seseorang. Sebagaimana Ryan, juga seperti foto saya di facebook itu. []

Leave a comment