Tentang “Al-Milal”

Hingga saat ini, para pengkaji dan peneliti sejarah Islam di bidang kalam atau teologi, seringkali merujuk kepada sebuah kitab yang berjudul Al-Milal wa Al-Nihal, karya Muhammad ibn ‘Abd al-Karim Ahmad al-Syahrastânî, seorang mutakallim yang hidup di Persia di paruh pertama abad 6 H/ 12 M.

Kitab klasik ini secara khusus membahas tentang aliran-aliran teologi dalam Islam, cukup detil hingga membahas sub golongannya masing-masing. Sampai-sampai ‘Abd al-Wahhab ibn ‘Alî al-Subkî, penulis Thabaqât al-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, memujinya sebagai kitab terbaik dalam bidang sejarah aliran-aliran teologi dalam Islam.

Pujian bukan hanya datang dari ulama atau sejarawan generasi dulu, tetapi juga dari pengkaji dan peneliti masa kini. Maka wajar jika buku ini seringkali dijadikan rujukan utama para pengkaji teologi Islam di tanah air.

Benarkah sedemikian hebatnya Al-Milal?

Di samping pujian, ternyata buku itu tak luput pula dari kritikan. Sebuah komentar yang terkesan meremehkan pernah dilontarkan oleh Prof. Arthur John Arberry, seorang pengkaji serius studi keislaman: “Kitab ini tidak lebih dari sekadar kumpulan kutipan dari penulis-penulis yang lebih dahulu, yang disusun secara longgar dan dihubung-hubungkan secara tidak logis tanpa menyebutkan sumber-sumbernya secara ketat.”

Saya kira Arberry tidak bermaksud meremehkan “karya besar” itu. Ia hanya mencoba mengemukakan pendapatnya secara jujur berdasarkan apa yang ia temukan, sebagaimana juga saya menemukannya.

Selain tidak jelas menyebutkan sumber-sumbernya, Syahrastânî juga seringkali tidak konsisten dalam menyajikan paparannya. Misalnya saja ketika menyebutkan sub golongan suatu aliran, pengklasifikasian yang dilakukan seringkali membingungkan. Belum lagi mengenai tokoh-tokoh aliran yang ia coba masukkan yang terkesan terlalu longgar dilabelkan.

Juga ketika membahas golongan tertentu, sulit untuk menduga bahwa ia merujuk kepada sumber-sumber yang ditulis langsung oleh tokoh yang mewakilinya. Nampaknya ini menjadi salah satu problem utama dalam karya tulis teologi. Tidak mudah menemukan penulis yang menempatkan dirinya pada posisi netral, yang senantiasa bersikap objektif dan menjauhkan prasangka.

Sedikit Unek-unek

Memang sulit mencari karya tulis di bidang teologi yang mempunyai tingkat kejujuran ilmiah tinggi. Setiap karya hampir dapat dipastikan mewakili suara madzhab yang dianut penulisnya, yang tentu saja akan ia bela. Tentu ini suatu hal yang lumrah, mengingat stigma teologi adalah cabang ilmu yang bertujuan membela akidah masing-masing. Namun yang disayangkan adalah, betapa banyak tuduhan tak berdasar yang dilontarkan terhadap madzhab lain. Entah mengapa kebanyakan dari mereka, seperti enggan menggunakan sumber-sumber asli yang ditulis oleh penganut madzhabnya masing-masing.

Saya tidak tahu, mungkin ini agak berlebihan. Saya ingin melemparkan unek-unek kepada penerbit lokal yang sebetulnya sudah berniat baik dengan menerjemahkan karya tersebut agar bisa diakses oleh masyarakat luas (terutama oleh mereka yang tidak menguasai bahasa asing). Apalagi bukannya tanpa disadari bahwa buku-buku bertema serius seperti ini hampir dapat dipastikan jeblok di pasaran. Akan tetapi mengabaikan dampaknya di masyarakat akan menimbulkan masalah yang cukup serius. Tipe masyarakat kita ini masih mudah dicekoki informasi sepihak, cepat merasa puas dengan satu jalur informasi yang belum terjamin validitasnya.

Setidaknya, sudah saya temukan dua penerbit buku di Indonesia yang menerjemahkan Al-Milal karya Syahrastânî ini. Tetapi saya belum berhasil menemukan terjemahan karya sejarawan lainnya yang bisa dijadikan acuan pembanding, misalnya Al-Milal wa Al-Nihal karya Syaikh Ja’far Subhani yang tak kalah lengkap dan komprehensif. Bahkan kualitas ilmiahnya jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan (terlepas madzhab yang dianut sang penulis, yang tentu saja akan ia bela). Catatan kaki yang memuat informasi sumber yang dikutip beserta penjelasan tambahan menghiasi lembar demi lembar karyanya yang terdiri dari tujuh jilid itu. Memang pernah ada sebuah penerbit dari Pekalongan yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Namun setahu saya baru diterjemahkan satu jilid saja, itupun sangat sulit didapatkan di toko-toko buku saat ini. Ada juga beberapa penulis lokal yang telah menyusun tema serupa, namun—tanpa bermaksud mengecilkan upaya mereka—karya itu hanya pantas disebut sebagai pengantar saja.

Jika penerbit enggan menerbitkan buku serupa karena alasan “sentimen madzhab”, masih ada pilihan lain, yaitu menerbitkan buku-buku serupa yang ditulis para sarjana studi keislaman dari barat yang biasanya lebih netral. Satu contoh, Toshihiko Izutsu, seorang sarjana cemerlang ilmu-ilmu keislaman dari Jepang, pernah menulis sebuah buku teologi berjudul The Concept of Belief in Islamic Theology. Meskipun tidak membahas semua madzhab kalam, namun buku itu mengkaji secara ekstensif tentang salah satu pokok persoalan dalam perdebatan kalam, yakni îmân. Izutsu, dengan analisisnya yang kaya dan tajam, menjelaskan masalah ini cukup gamblang, disertai juga dengan analisa perbandingan di antara beberapa madzhab kalam. Beberapa tahun yang lalu buku ini pernah diterjemahkan oleh salah satu penerbit dari Yogyakarta, namun sayang, lagi-lagi sulit ditemukan saat ini.

****

Di antara masalah yang dihadapi ketika membahas sejarah pemikiran suatu aliran teologi adalah mengenai keabsahan kategorisasi yang dibuat oleh para sejarawan, terutama terkait pembagian sub golongan, pokok pikiran masing-masing sub golongan tersebut, hingga ke tokoh-tokohnya. Seringkali ini lebih menjurus kepada klaim-klaim sepihak. Misalnya saja perdebatan tentang dimasukkannya Abu Hanifah sebagai salah satu tokoh Murji’ah. Jika Abu Hanifah masih hidup, boleh jadi ia sendiri akan menolak dikategorikan demikian, karena memang tidak pernah ada pengakuan terlontar dari mulutnya, kecuali ada sedikit saja dari pemikirannya yang kebetulan sejalan dengan doktrin Murji’ah. Adanya irisan kesamaan pemikiran tentu tidak cukup dijadikan alasan.

Dapat dipahami jika pengklasifikasian tersebut dilakukan demi pendekatan analisa semata, untuk memudahkan pembahasan secara lebih sistematis. Namun kenyataan yang ditemukan adalah, alih-alih merujuk langsung ke sumber primer, kebanyakan dari penulis sejarah mengutip kembali dari buku-buku yang disusun oleh sejarawan sebelumnya. Kesulitan ini juga dapat dimaklumi, sebab tidak semua madzhab kalam—terutama yang lahir di era awal sejarah Islam—menuangkan warisan pemikiran mereka ke dalam bentuk tulisan atau kitab-kitab. Kalaupun ada, biasanya sangat sulit didapat.

Bagaimanapun, tentu kita berharap mendapatkan ‘sesuatu’ dari upaya-upaya penelaahan kembali khazanah klasik Islam secara lebih serius lagi, yang mungkin hasilnya bisa dijadikan sumbangan besar bagi upaya untuk ‘merapikan’ sejarah Islam yang masih banyak tercecer. []

3 thoughts on “Tentang “Al-Milal””

  1. Penerbitan buku “Al-Milal wa Nihal” karya Ja’far Subhani dalam bahasa Indonesia layak dihargai dan sangat diperlukan untuk penyeimbang buku sejenis karya Syahrastani (versi Sunni). Saya beruntung punya buku Al-Milal karya Syeikh Ja’far Subhani yang diedarkan sangat terbatas.

    Bagaimana pendapat anda tentang buku berjudul “Kebenaran Yang Hilang:Sisi Kelam Praktik dan Kekuasaan dalam Sejarah Muslim” karya Faraq Fouda yang menggemparkan kalangan Sunni itu ? Barangkali ada baiknya dibahas di sini. Saya ingin sekali membeli buku tsb, tapi dimana ya ?

    Terima kasih.
    ______________________________
    IP:
    Mas Rizal, buku itu memang sangat menarik. Di buku itu ia berani menelanjangi kezhaliman yang dilakukan para penguasa Bani Umayyah dan Abasiyyah. Bahkan ia berani menyentuh masalah praktik korupsi dan penumpukkan kekayaan besar-besaran di masa rezim Utsman. Padahal, di kalangan Sunni sendiri hal tsb tabu untuk diperbincangkan. Untuk itu, Fouda harus membayar mahal kejujurannya dalam melihat sejarah, ia ditembak mati oleh sekelompok orang yang merasa terusik, setelah sebelumnya keluar fatwa dari ulama bahwa ia telah murtad sehingga darahnya halal untuk ditumpahkan.

    Kalau Anda tinggal di Jakarta, bukunya terakhir saya lihat ada di MP Book Point, Jl. Puri Mutiara, Cipete, Jaksel. Saya juga beli di situ.

Leave a comment