Sambutlah Senyum Layla

Ketika Majnun mengisi sebuah wadah dengan air yang mengalir, Layla yang elok mencoba mencuri perhatian. Ia lemparkan batu hingga wadah tersebut pecah. Majnun tersentak dan menoleh. Sungguh, senyuman itu membuat Majnun mabuk kepayang hingga sekarang ia tak mempedulikan lagi airnya yang tumpah. Ia hentikan mengisi air. Sekarang ia pandangi Layla yang senyumnya sangat menawan.

Ibarat Layla, Tuhan melalui beragam cara memikat kita yang sedang asyik masyuk dengan urusan dunia. Seperti Layla, sekali-kali Tuhan pecahkan kondisi kita yang sedang terlarut di negeri yang semakin jauh dari pusat eksistensi ini. Namun alih-alih seperti Majnun yang menyambut senyuman sang Kekasih, kita lebih terpikat dengan wadah air yang tiada bosannya kita isi dan isi lagi. Meski pecah, kita sambungkan dan sambungkan lagi pecahan-pecahan wadah itu. Kita abai dengan sosok Layla yang rupawan.

Dengar syair Rumi yang menuturkan keluhan sang seruling yang merindukan tempat asal:

“….Sejak aku berpisah dengan asal usulku, bambu yang rimbun, ratapku membuat lelaki dan wanita mengaduh.

Kuingin sebuah dada koyak sebab terpisah jauh dari orang yang dicintai. Dengan demikian, dapat kupaparkan kepiluan berahi cinta.

Setiap orang yang hidup jauh dari kampung halamannya akan merindukan saat-saat tatkala ia masih berkumpul dengan sanak keluarganya.

Nada-nada senduku senantiasa kunyanyikan dalam setiap majelis pertemuan, aku duduk bersama mereka yang riang dan sedih.

Rahasia laguku tidak jauh dari asal-usul ratapku. Namun, adakah telinga yang mendengar dan mata yang melihat?”

Tuhan titipkan seruling syahdu di lubuk terdalam jiwa-jiwa manusia. Namun, seberapa sadar kita? Bisakah kita dengar lengkingan sang seruling yang ingin mengingatkan tempat asal, sementara kita terlalu ‘bengong’ sehingga tak pernah menyadari apa yang sesungguhnya sedang terjadi?

Duhai Majnun, sambutlah senyuman Layla…. []

6 thoughts on “Sambutlah Senyum Layla”

  1. aku sedang asyik berbincang dengan kekasihku di pinggiran pantai, adikku sibuk membangun istana dari pasir putih. ia pun mengajak kami untuk bergabung main. aku (tentu)menjawab ‘tidak’. ia bergumam; dasar! dikasih istana tidak mau… (cerita Ibnu Sina)
    kita asyik dan bahagia dengan membangun istana pasir pantai… namun mereka asyik dengan kabahagiaan mutlak dengan manikmati wajah nan maha indah…

    kang kumaha damang? aduh tos lami yeuh… didieu diblok sih wpna, ieu ge susulumputan.

  2. Salam kenal Mas Irfan, semoga kita selalu dalam Lindungan Alloh
    aku baru baca-baca tulisan penjenengan. Sebuah blog yang penuh dengan renungan penghambaan diri pada Tuhan.
    Aku ingin banyak belajar tentang Tauhid Mas.
    Semoga suatu saat aku dapat sampai pada Alloh :’)
    Rindu pada dzat yang sangat dekat dengan kita :’)
    Semoga hidayahNYA cepat sampai pada kita . . . . .

    Mohon bimbingan dan sharing ilmu nya Mas 🙂

  3. Salam kenal. Senang berkenalan dengan Antum, Mas Miftah. Mari kita saling sharing ilmu, saya juga sama sedang belajar. Semoga Allah senantiasa memberikan bimbingan kepada kita untuk menyelami samudera ilmu-Nya yg tiada berhingga.

Leave a reply to Irfan Permana Cancel reply